Mari sayangku kita jaga bersama mimpi-mimpi kita
Mimpi, bukan ambisi
Ambisi bisa melukai,
mimpi bisa menginspirasi.
Itu bedanya.
(Fanada Sholihah Senna)
Mentari lekas berlalu kala senja mengambil alih
Aku melihat jiwa-jiwa yang tidak sejalan
Berjalan berceceran
dan tinggi ego
Bukan hakim
tetapi berusaha menjadi serupa
Lantas aku berkaca
Adakah bagian diriku yang serupa itu?
Pemalang, 15 Agustus 2019
 |
flower in the rain (dok. rara sansekerta) |
Aku ingin bercengkrama dengan semesta
kusebut nama pemuda negeri yang tak terkendali oleh alam
tiba-tiba ia senang luruh, lalu luluh lantah
Aku ingin jadi embun yang menyejukkan
yang tak pandai layu
yang senantiasa berbinar
agar tak kutemui namamu dalam kosakata pada kamus senduku
Aku ingin menerjang pagi dengan cara yang tak disangka-sangka
agar risau menjadi hilang
dan sesak menjadi selesai
Aku ingin bicara dengan cara yang tak merusak apa-apa
Rara Rastri,
19.02.19
Terinspirasi oleh F.S. Senna
 |
sebuah harapan bagi Indonesia |
Memuliakan kaum perempuan dengan cara mempersiapkan mereka menjadi calon ibu yang baik berarti melapangkan jalan pembentukan generasi penerus berkualitas sebagai modal pembangunan bangsa. Dalam rangka peringatan Hari Ibu, 22 Desember 2018.
Selamat Hari Ibu, untuk seluruh ibu dan calon ibu di Indonesia. Kita semua sepakat bahwa Ibu dan keluarga dianggap sebagai madrasah pertama bagi anak, peran orang tua sangat penting bagi keberlangsungan hidup anak. Nilai-nilai yang diwariskan orang tua kepada anak akan membantu ia untuk membentuk pola perilaku dan pola berfikir dalam menghadapi hal-hal yang akan ia hadapi kedepan. Walaupun tidak bersifat sepenuhnya karena akan bercampur dengan pengaruh lingkungan namun tetap saja peran keluarga sangat penting karena berada pada tahap awal dalam pembentukan pribadi anak.
Disini ibu berada pada posisi yang vital, dimana selain sebagai seorang istri, ia juga berperan menjadi guru dan pendamping yang (umumnya) memiliki interaksi langsung dalam porsi yang paling banyak dibandingkan anggota keluarga lain dengan anak. Itu artinya perlu adanya persiapan untuk menjadi seorang ibu, persiapan sejak menjadi calon ibu justru adalah modal yang harus diupayakan untuk membantu membentuk keturunan yang diharapkan. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan psikologis, kesehatan, adat, struktur keluarga, pendidikan, tadisi agama dan catatan aktivitas seksual. Tentunya ini juga berlaku untuk laki-laki.
13 Desember 2018 menjelang peringatan hari ibu, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menghapus diskriminasi usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan, usia minimal untuk menikah baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Peraturan sebelumnya, yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dinilai diskriminatif karena mengandung pembedaan batas usia minimal untuk menikah bagi laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Putusan MK ini digadang-gadang merupakan hadiah hari ibu pada tahun ini bagi seluruh calon ibu di Indonesia. Perkawinan usia dini sudah sejak lama dipersoalkan, korbannya kebanyakan ialah anak perempuan. UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak mengakui usia dewasa baru dimulai pada 18 tahun. Survei demografi dan kesehatan di Indonesia tahun 2017 menemukan bahwa 2 ibu dan 8 bayi baru lahir meninggal / jam. Dan sebanyak 55% merupakan ibu yang menikah dibawah usia 20 tahun. Sedangkan berdasarkan riset yang terbit di jurnal internasional pediatrics pada 2011 menyebutkan pernikahan anak meningkatkan risiko gangguan mental hingga 41%, belum lagi terrampasnya hak tumbuh kembang anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. dlsb
Dengan demikian patutkah kita berharap anak-anak yang lahir dari pernikahan dibawah umur merupakan sumber daya berkualitas?. Memuliakan kaum perempuan dengan cara mempersiapkan mereka menjadi calon ibu yang baik berarti melapangkan jalan pembentukan generasi penerus berkualitas, negara berkewajiban memastikan hal itu agar terpenuhi kebutuhan sumber daya manusia berdaya saing tinggi sebagai modal pembangunan bangsa. Bukan sebaliknya, menghasilkan manusia yang hanya menjadi beban sosial.
sumber data : dokumentasi Metro tv dan artikel ilmiah.
Rara Rastri,
22 Desember 2018
Selamat
malam semua! kali ini aku ingin membagikan
informasi yang kudapat mengenai fenomena yang terjadi akhir-akhir ini
pada masyarakat kita. Artikel berjudul
Kamu Bergaya Maka Kamu Ada, masyarakat pesolek dan ladang persemaian gaya hidup
merupakan salah satu bahasan mengenai gaya hidup dalam buku yang berjudul
lifestyles : sebuah pengantar komperhensif karya David Chaney. Singkatnya
aku dapat artikel ini lewat perkulahan Metodologi Ilmu Budaya yang kebetulan
menjadi bahan untuk tugas kuliah. Aku tertarik dengan isu-isu sosial mutakhir
dan aku pikir ini merupakan topik yang bagus untuk dibahas dan dianalisis
mengingat perubahan drastis di era sekarang pada masyarakat kita.
Apabila
kita perhatikan, dewasa ini terdapat
semacam "ledakan" gaya hidup pada masyarakat tanah air. Persoalan
gaya hidup adalah segalanya khususnya untuk meningkatkan eksistensi diri.
Masyarakat konsumen indonesia masa sekarang tumbuh beriringan dengan
globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme yang ditandai dengan
menjamurnya pusat perbelanjaan (shopping mall),
industri kecantikan , industri gosip, kawasan huni mewah, berdirinya
sekolah-sekolah mahal (dengan label "plus") dan tentu saja serbuan
gaya hidup lewat industri iklan dan televisi yang sudah sampai ke ruang-ruang
kita yang paling pribadi dan bahkan mungkin ke relung-relung jiwa kita yang
paling dalam. Hal ini tentu tidak lepas dari adanya industrialisasi yang mulai
marak masuk ke tanah air sejak 1990-an. Dikalangan masyarakat muncul framing
terkait batas-batas kelas sosial yang terlihat nyata. Contohnya, adanya majalah
mode dan gaya hidup yang terbit dalam edisi khusus bahasa Indonesia jelas
menawarkan gaya hidup yang tak mungkin dijangkau oleh kebanyakan masyarakat,
majalah semacam ini secara tidak langsung membentuk pola pikir konsumen untuk
menanamkan nilai, cita rasa dan gaya tertentu yang dianggap memiliki selera
tinggi. Pada waktu yang bersamaan, di sebagian masyarakat muncul gaya hidup
alternatif, "gerakan kembali ke alam" sebagai antitesa atau penolakan
dari glamour fashion yang sekarang juga sudah tidak malu-malu lagi
dipamerkan kaum borjuasi, OKB di Indonesia. Orang indonesia kini kebanyakan
sudah tidak malu-malu lagi menunjukkan dirinya kaya dan sekaligus merasa taat
beragama. orang tidak sungkan lagi membangun rumah mewah atau menggunakan
perhiasan mahal dalam kehidupan sehari-hari meskipun mereka tau pasti bahwa
banyak orang miskin di sekitar mereka
yang menyaksikannya.
Contoh
lain bahwa gaya hidup sudah masuk begitu dalam ke berbagai lini kehidupan
adalah dibidang agama. bagaimana agama sudah tidak hanya mengenai hubungan
manusia dan tuhannya serta manusia dengan manusia lain, tetapi agama telah
mengalami komodifikasi (menjadi komoditas dalam konsumsi massa. dalam agama
islam misalnya, kini sudah mulai marak iklan dan industri jasa yang menawarkan
"wisata religius" , umroh bersama kiai beken, berdirinya sekolah
islam yang mahal, menjamurnya konter-konter berlabel exclusive Moslem
Fashion. Hal ini jelas memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk keuntungan
bisnis. Urusan gaya hidup bukan melulu soal orang berduit, pilihan gaya hidup
adalah kebebasan setiap orang dari berbagai kalangan status sosial. Orang
kalangan bawah tidak jarang menyomot gaya orang berduit begitupun sebaliknya,
entah tujuannya hanya sebagai pencitraan atau memang begitu adanya. Dari
sini terlihat bahwa istilah gaya hidup merupakan persoalan yang kompleks.
Jadi itu dia semacam review dari buku karya David Chaney yang sudah aku singgung di awal. Semoga bermanfaat :)
Rara Rastri,
29 Oktober 2018