Rastri Rara


Di antara petang yang sunyi juga musim yang silih berganti

ada tanda tanya besar, dariku.

Telah ku terima bunga, juga paket tanpa nama itu.

Barangkali aku tak pandai membaca.

Ada lagi petunjuk dari jenis yang dapat ku baca?

karena barangkali aku masih tertidur pulas.




Dariku, dini hari.



Beberapa bulan terakhir seringkali aku mengeluh soal hidup, soal hari ini, juga soal segala kesulitan yang sedang aku hadapi saat ini. Aku belum pandai mengerti. Barangkali aku terlalu fokus pada hal-hal yang gagal aku raih, atau mungkin terlalu memikirkan masa depan yang datangnya saja sebenarnya masih lama. Seringkali aku heran, kenapa manusia itu suka sekali antara berharap pada masa depan, atau terjebak pada masa lalu. Jarang sekali kita benar-benar menikmati masa kini. Padahal hal-hal tersebut sebenarnya adalah bahan bakar dari timbulnya kecemasan. Tiba-tiba aku ingat sebuah artikel yang tak lama aku jumpai di sela kegiatan yang harus aku hadapi. Artikel tersebut mengulas tentang filsofi hidup stoicism, sebuah filosofi hidup yang pada intinya berfokus pada dikotomi kendali. Stoicism mengajak kita berpikir untuk mengendalikan segala bentuk emosi negatif. Emosi kita bagaikan kuda, dan pikiran kita adalah penunggangnya. Tanpa pikiran kita, emosi akan liar dan buas, seperti kuda yang berlari liar tanpa penunggang. Penunggang saja tanpa kuda juga sia-sia, tidak bisa melakukan apa-apa. Kombinasi yang harmonis antara keduanya sangat penting untuk menjadikan kita berfikir secara rasional. Pada akhirnya kesadaran itu kembali hadir, sebuah kesadaran yang mendadak menghampiriku saat memandang pepohonan juga dedaunan hijau yang menyambut ku di sepanjang perjalanan menuju Kota Tegal. Sejatinya kita harus memiliki kesadaran penuh terhadap apapun yang kita kerjakan saat ini, fokus kepada apapun yang nyata, yang saat ini kita hadapi, sesuatu yang dapat kita kendalikan. Bukan malah fokus pada hal-hal yang jauh dan tak dapat kita kendalikan. Terlepas dari itu semua, kita sebagai manusia pastinya merasakan berbagai emosi entah itu marah, sedih, senang, takut, terkejut dan banyak lagi. Menerima emosi-emosi tersebut pada akhirnya akan membantu kita memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, juga sebuah cara bagaimana kita memahami diri sendiri sebagai sebuah insan yang utuh.

Rara Rastri,
28 September 2020



Kalau sudah tua nanti, aku ingin tetap bersamamu. Berbincang banyak hal, berjalan beriringan dan berbagi apapun satu sama lain. Lalu sesekali kita akan mengingat masa-masa dimana kita ditempa, dibentuk dan berhasil menemukan diri sendiri. Saat-saat yang penuh petualangan itu menjadi bagian yang amat manis untuk dikenang. Atau saat-saat bagaimana kita bertemu?. Ah, semoga omonganku yang ngelantur seperti ini kelak bukan jadi masalah buatmu. Bahkan siapakah gerangan dirimu saja aku belum mampu membayangkan. Entahlah aku ngantuk. Aku masih sangat muda saat tulisan ini dibuat dan masih harus belajar banyak.

Rara Rastri,
4 September 2020.   



Hidup ini singkat dan katanya cuma sekali. Jadi terlalu rugi rasanya kalau dihabiskan dengan hal-hal yang menjadikan aku benci dengan hidup. Segala yang dikerjakan dengan setengah hati tidak sepatutnya diperjuangkan lagi. Maka kalau memang hidup dianalogikan sebagai sebuah perjuangan, perjuangkanlah dengan sepenuh hati (walaupun menurutku hidup ini nggak melulu soal perjuangan). Untuk bisa mencapai tahap itu, artinya aku harus bisa berdamai dengan diri sendiri dahulu yang adalah susah. Dan dengan kemampuan itu, peran apapun yang aku mainkan di dunia akan bisa aku hayati sehingga pada akhirnya menjadi sesuatu yang berarti. Jadi… kalau memang hidup ini punya arti, semoga itu adalah titik temu antara menjadi diri sendiri dan kesempatan untuk bisa terus berbagi. Begitulah kiranya yang aku pahami.

Rara Rastri, 
4 September 2020





Semoga selalu menemukan jalan, juga cahaya yang tak pernah padam.
Walau diluluh lantah, walau menemui terjal.
Berdiri kokoh, bersahaja, dan tetap membumi.

Semoga tetap mampu berfikir jernih, di tengah kebisingan.
Menjaga diri, dan senantiasa bertumbuh.
Terbang bebas tetapi selalu menemukan jalan untuk pulang.

Semoga…
Selalu mampu berbincang soal apapun, sampai kapanpun.


Rara Rastri, 
1 Juli 2020
dok. rarasansekerta
-
"Susah mau jalan kalau kaca helm-nya berkabut", begitu katanya. Barangkali yang dimaksud itu kaca helm-nya tertutup embun karena udara dingin, jadi terlihat berkabut. Atau memang kaca helm-nya jernih saja, cuma jalanan berkabut. Entahlah.,

Aku pikir kaca kita memang penuh embun di sepanjang akhir perjalanan ini, suasananya sejuk cenderung dingin. Bahkan terkadang aku hampir tidak bisa bernafas karena cuaca yang amat dingin dan jalanan yang tak menentu. Beberapa waktu ini kita melihat cahaya yang saat ini telah menghantarkan kita ke tempat yang lebih hangat. Sial, butuh beberapa saat untuk membersihkan embun-embun itu dari kaca helmku. Aku tidak tahu denganmu, tapi aku akan berusaha untuk membersihkan milikku, membiarkan cahaya matahari pagi yang hangat itu masuk perlahan. Disaat itulah aku bisa bernafas kembali.

Rara Rastri, 
26 Juni 2020
Newer Posts Older Posts Home

From Author

It's all about everything on Rara's mind.

POPULAR POSTS

  • Run
  • Kamu Tahu?
  • Aku

Blog Archive

  • June (1)
  • March (1)
  • January (1)
  • December (5)
  • November (2)
  • October (5)
  • September (3)
  • July (1)
  • June (4)
  • May (1)
  • April (1)
  • December (2)
  • November (2)
  • September (3)
  • February (1)
  • December (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • April (2)

Label

  • Personal
  • Kontemplasi
  • Opini
  • Artikel
  • Kutipan
  • Poem
Rastri Rara. Powered by Blogger.

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates | Created By Rara Rastri