Rastri Rara

doc: rarasansekerta

-

Setiap kali aku berkunjung ke suatu tempat, tak jarang pikiranku membawaku pada sebuah diskusi yang sama. Bagaimana jika suatu saat aku memutuskan untuk menikah, apakah aku sudah benar-benar siap? Is he the one? apa ilmu ku sudah cukup? Apa kami akan mampu menghadapi masalah-masalah yang tentu telah menanti di depan?. Sayangnya untuk ada pada titik itu aku tidak tahu pasti berapa lama waktu yang perlu ditempuh. Sepertinya bukan dalam waktu dekat, entahlah. Lha wong saat ini saja aku masih belum khatam menata hidupku. Belajar jadi manusia yang stabil, serta mampu menjadi manusia yang bijak... semoga. Memasuki babak baru setelah lulus kuliah membuatku menyadari banyak hal, salah satunya adalah apa yang dalam bahasa Jawa disebut sumeleh. Kalau dipahami lebih dalam, sikap sumeleh berjalan linear dengan filosofi stoikisme, sebuah aliran pemikiran yang muncul pada masa Yunani dan Romawi Kuno. Stoikisme sejatinya mengajarkan kita untuk berusaha tetap tenang dalam berbagai macam kondisi. Caranya melalui penguasaan diri. Sepertinya omonganku terlalu muluk-muluk, tapi percayalah itu yang memang ingin aku sampaikan.  Mengutip penjelasan Marissa Anita dalam Greatmind berjudul On Marissa's Mind: Stoikisme, Filosofi Anti Cemas - Bagian 1, ia mencoba membuka penjelasan dengan kata-kata dari teolog berikut ini: 

"Berikan saya ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah, keberanian untuk mengubah apa yang bisa saya ubah, dan kebijaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya" - Reinhold Niebuhr. 

Aku suka kata-kata tersebut, damai. Pertemuanku dengan diri sendiri dan kesadaran bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan adalah titik dari kelelahan yang tak berujung. Ternyata hidup itu memang menyenangkan, tapi juga melelahkan. Semakin dewasa, secara autopilot kita jadi bisa membedakan dan memilah, mana yang bikin lelah tapi akan berdampak positif bagi hidup kita, dan mana hal yang bikin lelah namun sebetulnya bisa kita tinggalkan saja. Yang aku tau, hidup itu sama dengan kita mengumpulkan pengalaman. Tempaan akan selalu ada dan nggak menutup kemungkinan di depan bakal ada hal yang jauh lebih melelahkan lagi. Aku jadi berfikir, di fase ini aja perlu banyak banget negosiasi sama diri sendiri. Kalau kita nyerah sama tempaan yang ada, berarti kita kalah sama situasi, kita pun juga kalah sama ego. Padahal tempaan itulah yang membuat kita semakin kuat seiring berjalannya waktu. Untuk dapat berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, sikap sumeleh sangat membantuku untuk tetap waras. 


Rara Rastri
Semarang, 21 ‎Juli ‎2021

doc : therumahproperty.com
-
Pada sebuah kesempatan dalam diskusi singkat, seorang dosen menyampaikan pernyataan seperti ini “zona nyaman adalah boomerang, keluar dari sana lalu cari zona aman”. Sayangnya perbincangan kami berlalu begitu saja hingga aku tak sempat bertanya lebih lanjut. Dari pernyataan tersebut lalu muncul banyak pertanyaan dibenakku. Apa iya benar begitu, bagaimana bisa pada akhirnya zona nyaman bisa menjadi boomerang?, Apa hubungan zona nyaman dan zona aman?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawaku pada sebuah artikel dari timesindonesia.co.id berjudul zona aman vs. zona nyaman. Dari artikel tersebut, singkatnya zona aman didefinisikan sebagai tempat kita secara faktual berada dalam kondisi aman. Sedangkan zona nyaman adalah tempat kita dalam kondisi nyaman. Zona aman biasanya nyaman sementara zona nyaman belum tentu aman. Dari sini aku mulai paham bahwa apabila dijabarkan, zona nyaman adalah sebuah kondisi dimana seseorang merasa bebas bahaya dalam menjalani hari-hari, rendah resiko, familiar, tanpa kekhawatiran, namun juga stagnan. Analoginya persis seperti cangkang tempat keong bersembunyi. Lalu bagaimana dengan zona aman? Aku memaknainya sebagai kondisi yang aman, mencakup stabilitas dalam hal apapun, baik psikologis, finansial, kesehatan, karir dll yang pada akhirnya ketika kita mampu mencapai zona aman, secara otomatis kita akan mendapatkan kenyamanan. Barangkali itu dia jawabannya (menurutku). Mungkin para pembaca punya pandangan lain?.

Aku selalu menantikan obrolan-obrolan baru dengan siapapun. Karena bagiku, lewat obrolan tersebut selalu ada hal yang bisa didapat, yaitu informasi, pandangan baru, pengalaman baru, persis seperti menggali harta karun di dasar lautan. Selain itu dalam sebuah komunikasi, secara tidak langsung kita akan mencoba memahami, belajar bernegosiasi, berdiskusi dan menghargai lawan bicara. Bertemu orang baru menjadi experience yang tak dapat tergantikan karena dari sanalah kita dapat melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Pun dalam melihat topik berjudul “zona nyaman” ini. Seharusnya berada dirumah, dekat dengan keluarga, kebutuhan tercukupi, fasilitas terpenuhi adalah sebuah definisi zona nyaman bagi banyak orang. Tetapi bagiku sebaliknya, berada pada zona nyaman justru membuatku sangat tidak nyaman. Ada batas besar yang selalu jadi kekhawatiranku dari kecil yaitu ketidakmampuan dan ketidaktahuan. Barangkali, dua hal tersebut yang selalu jadi bahan bakar pada setiap hal yang aku lakukan hingga sekarang. Berada pada zona nyaman tidak akan bisa membuatku melampaui dua hal tersebut. Bagiku, keluar dari zona nyaman adalah pilihan terbaik, karena disanalah kita ditempa, dapat lebih mengeksplor diri, mendapat banyak pembelajaran, dan memaknai setiap kegagalan sebagai proses dalam bertumbuh sehingga kita jadi manusia yang tahan banting. Bagi teman-teman dan para pembaca, kalian akan selalu menemukan api dalam diriku. Entah itu dalam wujud semangat, ambisi atau sebuah kehangatan untuk orang-orang sekitar. Namun tak jarang jua api itu membara sangat besar hingga rasa-rasanya butuh stabilisator supaya api kembali pada kondisi yang proporsional. Terlepas dari itu, satu hal yang pasti adalah semua membutuhkan proses. Upaya untuk terus berbenah, memahami diri dan terus berusaha mengembangkan diri adalah sebuah bentuk dari proses menuju pendewasaan diri, setidaknya untukku. 


Salam hangat,
Rara Rastri 

doc : rarasansekerta
-
Selalu ada pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kejadian. Bahkan disaat kondisi yang sepertinya sulit sekali buat kita bersyukur dan menerimanya. Barangkali apabila dirangkum, kalimat yang tepat untuk menggambarkan tahun 2020 adalah tahun yang penuh kejutan. Bak lagu lama yang masih terus diputar hingga saat ini, pandemi memang jadi kejutan luar biasa bagiku dan mungkin juga teman-teman. Lewat keterbatasan ruang gerak yang ada, secara rill terjadi perubahan-perubahan yang menuntut kita harus melakukan adaptasi kebiasaan baru. Selain dari segi fisik, adaptasi kebiasaan baru tersebut juga termasuk soal perubahan cara berfikir. Secara personal, aku jadi paham bahwa pandemi ini membuatku belajar tentang bagaimana cara mengelola ekspektasi. Tahun ini juga adalah tahunnya self reflection , Kehilangan kesempatan untuk melakukan aktivitas seperti biasa dan melakukan hal yang kita cintai seleluasa sebelumnya membuat kita jadi punya banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Dari refleksi tersebut muncul kesadaran-kesadaran baru yang secara nggak langsung berhasil menghantarkanku pada pendewasaan diri. Kehilangan memang jadi hal yang nggak mudah, tapi bukan berarti nggak bisa untuk dihadapi. Misalnya kehilangan waktu dan kesempatan untuk mencapai target sesuai rencana atau kehilangan kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan teman-teman. 

Tuhan memang selalu punya cara untuk memberikan pemahaman dengan baik. Pada akhirnya kehilangan-kehilangan tersebut mempertemukanku kepada banyak hal baru, pengalaman baru misalnya; orang-orang baik; orang-orang baru dan pemikiran-pemikiran baru; juga kesempatan baru untuk lebih mengembangkan diri, memahami diri sendiri dan sekitar. Pelajaran berharga lain yang dapat diambil adalah tentang bagaimana aku memahami, lingkungan mana yang terus mendorongku untuk berkembang, dapat menyampaikan kritik saran yang membangun dan jujur, serta teman-teman yang tulus. Pada akhirnya, lingkungan dan pengalaman sejatinya punya andil besar dalam membentuk pemahaman kita terhadap sesuatu. Untuk itu, semoga kita selalu mempunyai keluarga, pasangan, dan lingkungan pertemanan yang mendorong kita untuk terus bertumbuh.

Rara Rastri, 
18 Desember 2020


We are living in our twenties and grow as we go. We still have a long the way to go. There's no rule to how we should roll cause everybody got a life to live, a bond to fix, families, tragedies. Now your eyes are open, your ears are clear, your hearts is ready for the thing you fear. You learn to love, you learn to feel, just be human although it's hard, don't run from it. - Mikha

doc : canva.com

-
Sampai di umur (yang masih) 22 tahun seperti sekarang, aku sangat bersyukur karena jarang banget ditanyain soal kapan nikah sama orang-orang. Karena faktor face kali ya, hahahaha (definisi menolak tua). Yah... sejujurnya aku sangat menikmati berada di fase-fase sekarang, meskipun nggak mudah dan banyak sekali hal-hal yang telah terjadi, seperti gimana rasanya berjuang untuk lulus dengan segala kendala yang ada, gimana caranya biar tetep produktif dan cari uang ditengah pandemi, atau gimana caranya berdamai dengan diri sendiri dan menyikapi hal-hal yang nggak mengenakkan tetapi harus dihadapi. But I enjoy it. Di masa-masa menjelang kelulusan seperti sekarang, pertanyaan dari orang-orang (dan aku sendiri juga sih) yang sering banget muncul adalah “Jadi setelah lulus, apa?”, Jawabannya tergantung. Ada opsi jawaban serius dan enggak, hahaha. Biasanya kalau sama orang-orang dekat atau yang aku udah percaya, bisa aku ceritain rencana dan harapan-harapan sedetail mungkin. Kalau buat yang kepo aja salah satu jawaban yang bisa diberikan, yaitu “ya mau cari kerja” atau “mau meditasi di gunung sampai mati” hahaha (canda gais).

Terlepas dari semua rencana, baik rencana kecil, rencana besar dan rencanaku untuk tidak berencana, kehidupan setelah lulus memang semakin sulit. Benar kata bapak, “satu-satunya orang yang bisa kamu gantungkan adalah dirimu sendiri, (itu) termasuk keputusan-keputusan mandiri yang harus kamu ambil”. Dari sini aku belajar soal kebebasan memilih, kebebasan berpendapat dan kebebasan berfikir. Menurutku, hal yang paling memorable selama hidup bersama keluarga adalah saat-saat ketika salah satu anggota keluarga ada yang memantik pembicaraan soal isu atau peristiwa yang sedang hangat dan pada akhirnya masing-masing anggota keluarga menyampaikan pandangannya. Nggak jarang kami berdebat karena berusaha mempertahankan argumen dengan bukti-bukti pendukung. Hahaha. Itu adalah hal-hal terbaik yang aku dapatkan. Dari hal tersebut, aku akhirnya punya pemahaman bahwa hidup adalah tentang memilih. Dengan memilih kita berarti menggunakan hak kita sebagai manusia yang bebas untuk berfikir dan menentukan hidup kita sendiri. Memilih untuk bahagia, memilih untuk kaya, atau memilih untuk menjadi apa adanya, barangkali.

Pada perjalanan yang aku telah lewati, ‘pilihan’ tersebut yang membuat aku banyak berfikir tentang konsep sukses dan bahagia. Aku melihat bahwa hingga saat ini banyak orang yang mendefinisikan paradigma sukses selalu identik dengan hal yang berbau materiil. Contohnya sukses adalah keadaan dimana kita kaya raya, punya karir yang melejit, eksis di dunia maya maupun riil, punya rumah besar, punya mobil, dll. Begitupun arti bahagia, relative memang. Ada yang mendefinisikan bahagia itu adalah ketika melihat hal-hal kecil; seperti melihat pepohonan rindang, menikmati waktu bersama orang-orang terdekat, bahagia adalah ketika melihat orang tua bahagia, bahagia itu ketika masuk surga, ada juga yang mendefinisikan bahagia ketika telah berhasil mencapai cita-cita.

Masalah benar atau salah, itu bukan otoritasku untuk membuat penghakiman. Tetapi melalui keputusan-keputusan yang telah aku ambil kemarin, aku sadar bahwa itu adalah sebuah jalan yang menghantarkanku kepada pencerahan (Hahaha lebay banget bahasa nya, tapi mengertilah ya). Jujur saja definisi sukses dan bahagiaku masih bimbang layaknya sebuah jalan yang bercabang dua. Egoku masih kerap berteriak buat mengejar karir secepat mungkin, mendapat pekerjaan sesuai keinginan, ikut projek ini itu, cepet-cepet cari beasiswa, punya hunian hasil kerja keras sendiri, nyenengin keluarga, ketemu sama my mr. right dan masih banyak lagi misi-misi dalam hidup ini. Tetapi di sisi lain, aku bisa banget membayangkan kehidupan yang bahagia adalah kehidupan yang simpel seperti melihat hamparan hijau sawah tiap bangun pagi-pagi, jalan-jalan menikmati udara segar tiap pagi, Mendesain sendiri hunian tempat tinggal yang sederhana sama suami dan punya kebun di belakang rumah buat ditanami sayuran atau buah-buahan organik. Kalau mau masak tinggal ambil bahan dari kebun. Meditasi tiap pagi, punya jadwal latihan bela diri rutin, bikin cupcake dan jus sayur tiap hari sabtu, nyetel lagu keras-keras dan nyanyi sesuka hati, ngoceh ngalur ngidul dan tau pasti bahwa ada seseorang yang mendengarkan dengan senang hati tanpa menjudge. jalan-jalan ke tempat baru, punya rooftop dan bikin agenda rutin nonton bioskop ala-ala sambil minum cokelat panas. Atau masak-masak dan bikin piknik ala-ala sama keluarga kecil nanti.

Meskipun (mungkin) ada hal-hal yang terdengar menye-menye, tapi kedua impian itu selalu hidup dalam mimpi-mimpi aku. Pada hari-hari tertentu kecenderungan hati bisa kekanan dan pada waktu tertentu, ia bisa ke kiri. Tapi, aku akhirnya jadi sadar satu hal, bahwa pikiranku akan selalu condong ke depan, atau sesekali ke belakang, mencoba memperbaiki hari ini lewat pengalaman-pengalaman masa lalu. Dan saat itu juga aku baru tersadar, bahwa sukses dan bahagia, sebenarnya ada di hari ini, bahwa sampai saat ini kita masih mampu terus berusaha dan dapat menghabiskan waktu bersama orang-orang yang kita sayang.

Selamat malam untuk para pembaca,
Semoga sukses dan bahagia selalu!

 

doc: rarasansekerta


I miss their warmth in my hand. I miss feeling safe in a crowded place, knowing for certain that I will not get lost or abandoned, knowing that I’m with someone who will hold on to my hand until I’m completely safe at home.

I like feeling safe, feeling accompanied. I like feeling someone’s presence near me. Someone who cares, who genuinely will wait for me, come to my diraction, be with me along the way.


Sejauh mata memandang hanya ada hamparan laut yang tenang,
hamparan hijau sawah dan cuaca sejuk pegunungan,
ataupun bintang-bintang, juga bulan purnama yang amat indah untuk dilewatkan.
Tak ada yang lebih damai dari itu.

  



Keterbatasan dalam mengekspresikan emosi membawaku kepada apa yang disebut dengan kegiatan menulis. Ada banyak sekali peristiwa, ide, emosi ataupun keresahan yang tak mampu tersampaikan secara lisan, yang pada realisasinya aku mampu tumpahkan dalam tulisan. Bagiku, menulis adalah proses kreatif dalam menyampaikan emosi secara jujur, merekam kondisi atau pemikiran pada suatu waktu. Melalui tulisan tulisan itu juga pada akhirnya aku dapat melihat perkembangan pendewasaan diri melalui perjalanan psikologis yang telah aku lewati.

Rara Rastri
28 Oktober 2020





Beberapa bulan terakhir seringkali aku mengeluh soal hidup, soal hari ini, juga soal segala kesulitan yang sedang aku hadapi saat ini. Aku belum pandai mengerti. Barangkali aku terlalu fokus pada hal-hal yang gagal aku raih, atau mungkin terlalu memikirkan masa depan yang datangnya saja sebenarnya masih lama. Seringkali aku heran, kenapa manusia itu suka sekali antara berharap pada masa depan, atau terjebak pada masa lalu. Jarang sekali kita benar-benar menikmati masa kini. Padahal hal-hal tersebut sebenarnya adalah bahan bakar dari timbulnya kecemasan. Tiba-tiba aku ingat sebuah artikel yang tak lama aku jumpai di sela kegiatan yang harus aku hadapi. Artikel tersebut mengulas tentang filsofi hidup stoicism, sebuah filosofi hidup yang pada intinya berfokus pada dikotomi kendali. Stoicism mengajak kita berpikir untuk mengendalikan segala bentuk emosi negatif. Emosi kita bagaikan kuda, dan pikiran kita adalah penunggangnya. Tanpa pikiran kita, emosi akan liar dan buas, seperti kuda yang berlari liar tanpa penunggang. Penunggang saja tanpa kuda juga sia-sia, tidak bisa melakukan apa-apa. Kombinasi yang harmonis antara keduanya sangat penting untuk menjadikan kita berfikir secara rasional. Pada akhirnya kesadaran itu kembali hadir, sebuah kesadaran yang mendadak menghampiriku saat memandang pepohonan juga dedaunan hijau yang menyambut ku di sepanjang perjalanan menuju Kota Tegal. Sejatinya kita harus memiliki kesadaran penuh terhadap apapun yang kita kerjakan saat ini, fokus kepada apapun yang nyata, yang saat ini kita hadapi, sesuatu yang dapat kita kendalikan. Bukan malah fokus pada hal-hal yang jauh dan tak dapat kita kendalikan. Terlepas dari itu semua, kita sebagai manusia pastinya merasakan berbagai emosi entah itu marah, sedih, senang, takut, terkejut dan banyak lagi. Menerima emosi-emosi tersebut pada akhirnya akan membantu kita memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, juga sebuah cara bagaimana kita memahami diri sendiri sebagai sebuah insan yang utuh.

Rara Rastri,
28 September 2020



Hidup ini singkat dan katanya cuma sekali. Jadi terlalu rugi rasanya kalau dihabiskan dengan hal-hal yang menjadikan aku benci dengan hidup. Segala yang dikerjakan dengan setengah hati tidak sepatutnya diperjuangkan lagi. Maka kalau memang hidup dianalogikan sebagai sebuah perjuangan, perjuangkanlah dengan sepenuh hati (walaupun menurutku hidup ini nggak melulu soal perjuangan). Untuk bisa mencapai tahap itu, artinya aku harus bisa berdamai dengan diri sendiri dahulu yang adalah susah. Dan dengan kemampuan itu, peran apapun yang aku mainkan di dunia akan bisa aku hayati sehingga pada akhirnya menjadi sesuatu yang berarti. Jadi… kalau memang hidup ini punya arti, semoga itu adalah titik temu antara menjadi diri sendiri dan kesempatan untuk bisa terus berbagi. Begitulah kiranya yang aku pahami.

Rara Rastri, 
4 September 2020


dok. rarasansekerta
-
"Susah mau jalan kalau kaca helm-nya berkabut", begitu katanya. Barangkali yang dimaksud itu kaca helm-nya tertutup embun karena udara dingin, jadi terlihat berkabut. Atau memang kaca helm-nya jernih saja, cuma jalanan berkabut. Entahlah.,

Aku pikir kaca kita memang penuh embun di sepanjang akhir perjalanan ini, suasananya sejuk cenderung dingin. Bahkan terkadang aku hampir tidak bisa bernafas karena cuaca yang amat dingin dan jalanan yang tak menentu. Beberapa waktu ini kita melihat cahaya yang saat ini telah menghantarkan kita ke tempat yang lebih hangat. Sial, butuh beberapa saat untuk membersihkan embun-embun itu dari kaca helmku. Aku tidak tahu denganmu, tapi aku akan berusaha untuk membersihkan milikku, membiarkan cahaya matahari pagi yang hangat itu masuk perlahan. Disaat itulah aku bisa bernafas kembali.

Rara Rastri, 
26 Juni 2020
Semoga aku bisa menyikapinya dengan bijak.
dok : rarasansekerta
-
Perbincangan panjang tentang hari depan nan luas selalu jadi topik yang menarik buatku. Tentang bagaimana cara kita bertahan hidup, memaknai setiap perjalanan, bagaimana masing-masing dari kita mendorong diri sendiri kepada titik yang sejak lama kita inginkan. Semua butuh kerja keras bukan?. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Sebuah pantun yang masih terdengar epik hingga saat ini, setidaknya buatku. Dengan umur yang semakin bertambah, barangkali banyak dari kita semakin jadi pemikir ulung. Bagaimana tidak? Pertanyaan-pernyataan yang esensiil tiba-tiba semakin banyak muncul dari dalam diri, tentang apa sebenarnya tujuan kita dilahirkan dibumi, apa sebenarnya yang benar-benar kita inginkan dan butuhkan, bagimana kita memahami hiruk pikuk kehidupan yang semakin rumit dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Sudah semestinya kita punya agenda, bertanggungjawab atas segala keputusan yang kita buat, dan mempersiapkan diri untuk masa mendatang. Memang kata-kata selalu terlihat mudah daripada ketika mempraktikannya, tapi tidak ada yang mustahil apabila kita mau terus belajar dan berusaha. Kamu sependapat denganku?. Masing-masing dari kita punya warna yang berbeda, juga masa yang berbeda. Tentang rencana-rencana yang tertunda, atau mimpi-mimpi yang belum tercapai, tenang kalian tidak sendiri. Setidaknya kondisi kita sama, tetapi semangat yang membara harus selalu ada di dalam diri. Semangat itulah yang pada akhirnya akan menjadikan kita terus merasa hidup.

Pada akhirnya fokus pada diri sendiri menjadi hal yang sangat penting di masa-masa sekarang. Aku ingin mengambil kendali atas diriku sendiri, terbang bebas dan selalu ingin belajar. Barangkali akan ada seseorang yang mampu melihatnya dan berkata, “maka aku juga akan berusaha lebih keras lagi”. Pada akhirnya itu adalah upaya kita untuk memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang utuh. 


Rara Rastri, 22 Tahun. 
Semarang, 10 Juni 2020
Source : google pictures
-
Ada hal-hal yang orang lain tidak akan pernah mengerti. Seperti rasanya ketika melihat ketidakadilan yang masih terus berjalan, menerus dan terus pada sebuah tempat yang sama. Atau ketika pikiran gelap mengulang secara tiba-tiba dan menelan semua keinginan dan hasrat yang telah ada. Seperti ketika menerima pesan bela sungkawa yang sebenarnya tak bisa menggantikan rasa kehilangan yang akan terus ada untuk waktu yang lama. Seperti menahan rasa sakit yang menusuk sambil sibuk membuatnya seakan terlihat tidak terjadi apa-apa. Seperti perjalanan penemuan diri sendiri yang berujung pada keputusan-keputusan yang memisahkan hari ini dengan masa lalu. Seperti hal-hal yang terjadi di dalam keluarga, dan bagaimana aku mencoba memahaminya. Seperti nikmatnya kebebasan-kebebasan soal dimana aku tak perlu tunduk pada konstrunsi sosial yang menindas. Seperti perasaan damai yang muncul dari lingkungan yang asri dan dedaunan yang hijau. Seperti ketakutan akan perpisahan dengan orang-orang yang kita sayangi. Seperti semangat yang membara atau alasan dibalik tindakan-tindakan yang telah kita ambil. Seperti kecemasan akan hal-hal yang akan terjadi. Seperti rasanya tumbuh dalam perbedaan. Seperti rasanya keputusasaan, kepasrahan yang didorong oleh kesadaran akan realitas yang ada. Seperti sulitnya mengekspresikan emosi atau perasaan sedih yang tiba-tiba. 

Ada hal-hal yang orang lain tidak akan pernah mengerti. Mungkin mereka tidak mau (mampu untuk) mengerti. (ya, sepertinya) Mereka tidak akan mengerti. Tapi aku (mungkin, semoga) mengerti.

Pada akhirnya, hanya kita sendiri yang benar-benar mengerti, apa, siapa, bagaimana dan mengapa di balik hal-hal yang kita miliki.

Purwodadi, 9 Mei 2020


 

Ketidakpastian adalah kepastian itu sendiri 
Sudah satu bulan lebih sejak pandemi covid-19 ini berlangsung pemerintah menerapkan kebijakan Work From Home (WFH). Tepatnya pada tanggal 17 Maret 2020 hingga waktu yang belum ditentukan. Dengan diterapkannya kebijakan tersebut, banyak kantor khususnya instansi pemerintah yang tidak dapat secara langsung melayani masyarakat. Saya adalah salah salah satu  dari sekian banyak masyarakat yang terdampak. Sebagai mahasiswi tingkat akhir, saat ini saya sedang berada pada tahap penelitian lapangan. Mulai 17 Maret penelitian lapangan saya harus tertunda karena kebutuhan data yang sebagian berasal dari instansi pemerintah belum bisa didapatkan. Sebagian yang lain mampu untuk didapatkan karena tersedia secara daring, namun kebanyakan data berupa dokumen dan arsip yang bersifat tertutup atau rahasia sehingga harus melakukan interaksi dan meminta ijin secara langsung. Bukan hanya saya, saya yakin sebagian teman-teman juga merasakan hal tersebut. Saya pikir ini benar-benar mengacaukan timeline yang sudah direncanakan. Tetapi selepas ini semua, positif thinking dapat benar-benar membantu dalam mengurangi kecemasan. Bahwa yang kita alami ini adalah sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan sebagai manusia, I believe that everything happens for a reason. Semoga kita bisa saling menjaga di tengah pandemi ini dan semoga Tuhan senantiasa melindungi.


Purwodadi, 25 April 2020


Semakin dewasa, aku belajar bahwa nggak semua yang aku inginkan harus aku dapatkan.

Terkadang aku heran dengan sifat bawaanku yang satu ini. Sejak kecil aku selalu berfikir bahwa apa yang aku inginkan harus aku usahakan dan aku dapatkan. Tapi ternyata ada hal yang lebih luas dari itu, kita berjalan di muka bumi bukan karena kehendak kita sendiri, ada kekuatan yang lebih besar di atas kita. Meskipun kita punya keinginan dan telah mengusahakan yang terbaik, tetapi kalau kekuatan yang berada di atas kita nggak menghendaki, ya kita nggak bisa apa-apa.

Dari hal tersebut aku belajar ikhlas. Belajar bahwa apa yang bukan disiapkan untukku, selamanya nggak akan sampai ke aku. Belajar menerima semua ketetapan-Nya, bahwa apapun yang kutemui dalam perjalanan ini adalah bagian dari garis ketetapan Tuhan untukku. 

Percayalah, Tuhan tidak pernah menyengajakan kita ke tempat yang salah.

Rara Rastri
Semarang, 4 Desember 2019

Dok : Fernando F., Loc : Pemalang

Sering bingung mau ngapain sementara isi kepala penuh. Saking banyaknya yang dipikirin jadi bingung sebenernya aku mikirin apa sih. 

Usiaku saat ini 21 tahun. Bagiku ini adalah saat-saat krusial dalam mempersiapkan dan mencapai apa yang aku inginkan di masa depan. Banyak banget hal yang bikin insecure, yang paling kerasa itu insecure tentang masa depan. Masa depan di benakku itu ya meliputi jodoh, karir dan pendidikan. Jadi nggak boleh main-main dan hati-hati ambil keputusan kalau udah menyangkut 3 hal itu. Disisi lain, kerinduan soal menghabiskan waktu bersama teman-teman dan orang-orang terdekat semakin sering hadir. Rasanya nggak pengen cepet-cepet berlalu, tapi juga nggak mau lama-lama larut jadi kita malah lupa apa tujuan kita :). Aku berharap semoga kita masih bisa menikmati waktu ditengah hiruk pikuk kesibukan masing-masing.

Yang paling kerasa juga adalah circle pertemanan menjadi semakin mengecil. Analisisku ya karena semakin kita dewasa prioritas kita semakin berubah. Udah bukan saatnya keseringan nongkrong cantik dan menghabiskan waku dengan hal-hal yang nggak bermanfaat. Memang semakin kesini, kita  semakin bisa melihat orang-orang yang sebetulnya toxic atau enggak. Rasanya hal-hal semacam itu (orang-orang toxic) nggak perlu masuk list hal-hal yang perlu dipikirin. Kadang kita nggak sadar kalau kita melakukan sesuatu  supaya orang lain suka atau supaya kita bisa tetap berteman dengan mereka. Itu hak dan pilihan masing-masing orang memang, tapi itu artinya "mereka" udah merenggut hak kamu buat kamu menjadi dirimu sendiri dong. 

Berbeda kasus lagi, sebaliknya, aku bertemu dengan orang-orang yang sangat "mencintai" dirinya sendiri  sampai lupa kalau kita makhluk sosial. Hak kita berbatasan dengan hak orang lain, a.k.a kebablasan.  Emang gampang-gampang susah kalau ngomongin pola interaksi dan hal-hal seperti hubungan sosial era milenial. Yang jelas lingkungan sangat ikut andil dalam ngebentuk kita, jadi sebaiknya kita harus bijak dan harus punya visi yang mengendalikan. 

Terimakasih sudah menyempatkan melihat secuil dari isi batinku. Semoga Tuhan senantiasa melindungi.



Mentari lekas berlalu kala senja mengambil alih
Aku melihat jiwa-jiwa yang tidak sejalan
Berjalan berceceran
dan tinggi ego
Bukan hakim
tetapi berusaha menjadi serupa

Lantas aku berkaca
Adakah bagian diriku yang serupa itu?


Pemalang, 15 Agustus 2019

introvert illustration


Selamat Pagi! Akhirnya setelah sekian lama terbengkalai, akan ada lagi tulisan-tulisan random yang semoga bermanfaat. firstly, sebenernya awalnya aku masih sering bingung buat mengindentifikasi diri sendiri apakah aku masuk introvert, outgoing introvert atau ambivert. ketiganya hampir sama menurutku sampai pada akhirnya aku bisa nyimpulin "wah aku bener-bener introvert sejati ternyata".

Nggaktau kenapa perbincangan mengenai personality selalu menarik buatku, salah satu cara buat memahami orang ya lewat ini. Jadi ketika kita tau seseorang dengan personality tertentu kita bisa lebih mengerti apa yang ia butuhkan, misal ketika orang ekstrovert lagi sedih ia lebih suka menghabiskan waktu dengan berkegiatan yang melibatkan interaksi dengan banyak orang. Atau ketika yang sedih adalah seorang introvert ia lebih nyaman buat menyendiri, membutuhkan ketenangan buat melihat kembali apa yang sudah terjadi dan tindakan selanjutnya yang harus diambil a.k.a merenung (walaupun mungkin ngga semua tapi itu setidaknya yang bisa aku simpulkan dari beberapa artikel yang aku baca). Begitupun aku, yep i'm a true introvert, dan berdasarkan tes Myers-Birggs Type Indicator (MBTI) yaitu sebuah psikotes yang dirancang untuk mengukur preferensi psikologis seseorang dalam melihat dunia dan membuat keputusan (dikembangkan oleh Isabel Briggs Myers), hasilnya adalah ISFJ. Apa itu ISFJ? Introversion (I) yaitu seseorang yang introvert, cenderung pendiam dan suka menyendiri. Sensing (S) yaitu lebih berkonsentrasi pada informasi daripada teori abstrak. Feeling (F) yaitu menaruh perhatian pada personal daripada informasi obyektif. Judging (J) adalah seorang perencana dan cenderung untuk mengorganisir dengan baik. Diperkirakan populasi ISFJ didunia yakni antara 9-14% dari populasi dunia. Untuk lebih jelas tentang ISFJ ini bisa dicek di https://www.16personalities.com/isfj-personality 

Sebelum ini kupikir aku tergolong ambivert, kok bisa? karena kupikir aku suka bertemu orang-orang baru dari banyak tempat dan latar belakang, berkenalan, bertukar cerita dlsb. tapi pertanyaan muncul ketika obrolan itu menjadi sesuatu yang monoton, berulang, mulai membicarakan yang kupikir ga penting (baca: bergosip) atau mulai bertanya kepada hal yang bersifat privasi misalnya asmara dkk. Aku lebih nyaman berinteraksi dengan satu orang dibanding berada dalam kelompok yang terdiri dari banyak orang. Kecuali rapat, kerja kelompok atau kegiatan kelompok lain yang menurutku bermanfaat dan dirasa aku punya tanggung jawab dan dibutuhkan disana. Menyukai tempat yang tenang, tidak terlalu sepi maupun ramai especially ruang terbuka hijau karena biasanya ide-ide atau inspirasi muncul karena mungkin suasana yang tenang dan otak sedang relaks. Daripada nongki-nongki cantik tanpa ada rencana obrolan yang jelas. Tapi bukan berarti pure aku gamau ketika diajak temen-temen buat sekedar ngobrolin hal-hal ringan, kadang kita perlu untuk keluar dari zona nyaman dan melihat dari sundut pandang yang berbeda supaya bisa membaur, dan sampai sekarang akupun masih berusaha. Biasanya aku bisa tetap nyaman dimanapun tempatnya ketika bersama dengan orang-orang yang kuanggap spesial bisa sahabat, teman dekat, keluarga, orang yang kupercaya pokoknya. Ya aku sependapat dengan perkataan seseorang "bukan masalah tempatnya, tapi bersama siapa". 

Sangat melelahkan ketika berada di tempat yang ramai dan suasana tidak teratur misalnya karnaval atau konser band. Jelas aku lebih memilih buat dirumah wkw tapi beda kasus kalau di tempat dengan banyak orang namun kondusif dan nyaman misalkan seminar, choir concert, pertunjukan wayang dlsb. Banyak orang menilai bahwa orang-orang seperti aku itu kaku, gabisa bercanda, sensitif dan hal-hal menyebalkan lain. That's totally wrong guys, kami hanya sulit mengekspresikan perasaan, jadi terkesan sangat pendiam. padahal dalam hati "woy aku juga pengen kayak kalian, bisa ngomong banyak terutama didepan banyak orang, dan nggak malu berekspresi". Banyak sekali yang sebetulnya ada dipikiran dan pengen disampaikan tapi kami butuh waktu yang tidak sebentar mengolah kata untuk bisa disampaikan misalnya. mau menyampaikan ide dalam suatu forum, mau tanya ke dosen ketika kelas dan bahkan ketika mencoba ingin spontan malah gugup dan apa yang disampaikan malah amburadul dan ngga tepat sasaran. Tapi sisi positif yang bisa kaum introvert ambil adalah kami merasa bisa mengontrol apa yang keluar dari mulut karena emang butuh mikir dulu hanya buat mau ngomong sesuatu. Ngomongin tentang how we as introverts express our feelings, setiap orang punya caranya sendiri, kalau aku biasanya nulis diari atau dengan cara bermain musik atau bernyanyi karena hobiku musik, lewat sosial media, biasanya orang-orang seperti kami sangat dekat dengan sosial media sebagai tempat menyalurkan ekspresi diri. Hal lain adalah kami tidak terlalu suka sesuatu yang bersifat spontan contohnya presentasi tanpa persiapan. Bukan materinya yang tidak menguasai tapi mengolah katanya itu sangat sulit menurutku, tapi walaupun begitu harus tetap berusaha mendorong diri untuk terus berlatih mengingat kita selalu dituntut untuk selalu siap dimanapun kapanpun bukan hanya untuk sekarang tetapi didunia kerja nantinya. 

Yash, itu dia. Tapi aku perlu tegaskan bahwa nggak semua orang introvert sama seperti apa yang aku tulis. Dilihat dari judulnya, ini introvertnya Rara dan bagaimana aku menghadapi kesulitan dari personality ku sendiri. Semoga bermanfaat :)


Rara Rastri
Purwodadi, 19 Agustus 2018
Older Posts Home

From Author

It's all about everything on Rara's mind.

POPULAR POSTS

  • Run
  • Kamu Tahu?
  • Aku

Blog Archive

  • June (1)
  • March (1)
  • January (1)
  • December (5)
  • November (2)
  • October (5)
  • September (3)
  • July (1)
  • June (4)
  • May (1)
  • April (1)
  • December (2)
  • November (2)
  • September (3)
  • February (1)
  • December (1)
  • October (1)
  • September (1)
  • August (1)
  • April (2)

Label

  • Personal
  • Kontemplasi
  • Opini
  • Artikel
  • Kutipan
  • Poem
Rastri Rara. Powered by Blogger.

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates | Created By Rara Rastri