Keterbatasan dalam mengekspresikan emosi membawaku kepada apa yang disebut dengan kegiatan menulis. Ada banyak sekali peristiwa, ide, emosi ataupun keresahan yang tak mampu tersampaikan secara lisan, yang pada realisasinya aku mampu tumpahkan dalam tulisan. Bagiku, menulis adalah proses kreatif dalam menyampaikan emosi secara jujur, merekam kondisi atau pemikiran pada suatu waktu. Melalui tulisan tulisan itu juga pada akhirnya aku dapat melihat perkembangan pendewasaan diri melalui perjalanan psikologis yang telah aku lewati.Rara Rastri
28 Oktober 2020
Menulis
adalah salah satu media untukku dalam mengekspresikan emosi. Keterbatasan dalam
hal mengekspresikan emosi membawaku kepada kegiatan menulis. Bentuknya dapat bermacam-macam,
menulis puisi menjadi alternatif untuk menyampaikan emosi baik secara tersirat
ataupun tersurat. Perumpamaan atau permainan kata menjadi hal yang menarik,
setidaknya buatku. Selain puisi, menulis dalam bentuk apa adanya seperti diari
juga sering sekali aku pilih. Melalui menulis, ibarat aku mengeluarkan emosi,
efeknya sama dengan ketika bercerita, beban dapat sedikit berkurang. Melalui
tulisan-tulisan itu juga pada akhirnya aku mampu melihat perkembangan pendewasaan diri melalui
perjalanan psikologis yang telah aku lewati. Selain itu, secara tidak langsung pula karya-karya
terbentuk.
Rara Rastri,
26 Oktober 2020
Beberapa bulan terakhir seringkali aku mengeluh soal hidup, soal hari ini, juga soal segala kesulitan yang sedang aku hadapi saat ini. Aku belum pandai mengerti. Barangkali aku terlalu fokus pada hal-hal yang gagal aku raih, atau mungkin terlalu memikirkan masa depan yang datangnya saja sebenarnya masih lama. Seringkali aku heran, kenapa manusia itu suka sekali antara berharap pada masa depan, atau terjebak pada masa lalu. Jarang sekali kita benar-benar menikmati masa kini. Padahal hal-hal tersebut sebenarnya adalah bahan bakar dari timbulnya kecemasan. Tiba-tiba aku ingat sebuah artikel yang tak lama aku jumpai di sela kegiatan yang harus aku hadapi. Artikel tersebut mengulas tentang filsofi hidup stoicism, sebuah filosofi hidup yang pada intinya berfokus pada dikotomi kendali. Stoicism mengajak kita berpikir untuk mengendalikan segala bentuk emosi negatif. Emosi kita bagaikan kuda, dan pikiran kita adalah penunggangnya. Tanpa pikiran kita, emosi akan liar dan buas, seperti kuda yang berlari liar tanpa penunggang. Penunggang saja tanpa kuda juga sia-sia, tidak bisa melakukan apa-apa. Kombinasi yang harmonis antara keduanya sangat penting untuk menjadikan kita berfikir secara rasional. Pada akhirnya kesadaran itu kembali hadir, sebuah kesadaran yang mendadak menghampiriku saat memandang pepohonan juga dedaunan hijau yang menyambut ku di sepanjang perjalanan menuju Kota Tegal. Sejatinya kita harus memiliki kesadaran penuh terhadap apapun yang kita kerjakan saat ini, fokus kepada apapun yang nyata, yang saat ini kita hadapi, sesuatu yang dapat kita kendalikan. Bukan malah fokus pada hal-hal yang jauh dan tak dapat kita kendalikan. Terlepas dari itu semua, kita sebagai manusia pastinya merasakan berbagai emosi entah itu marah, sedih, senang, takut, terkejut dan banyak lagi. Menerima emosi-emosi tersebut pada akhirnya akan membantu kita memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, juga sebuah cara bagaimana kita memahami diri sendiri sebagai sebuah insan yang utuh.
Rara Rastri,
28 September 2020
Kalau sudah tua nanti, aku ingin tetap bersamamu. Berbincang banyak hal, berjalan beriringan dan
berbagi apapun satu sama lain. Lalu sesekali kita akan mengingat masa-masa
dimana kita ditempa, dibentuk dan berhasil menemukan diri sendiri. Saat-saat yang
penuh petualangan itu menjadi bagian yang amat manis untuk dikenang. Atau
saat-saat bagaimana kita bertemu?. Ah, semoga omonganku yang ngelantur seperti
ini kelak bukan jadi masalah buatmu. Bahkan siapakah gerangan dirimu saja aku
belum mampu membayangkan. Entahlah aku ngantuk. Aku
masih sangat muda saat tulisan ini dibuat dan masih harus belajar banyak.
Rara Rastri,
4 September 2020.
Hidup ini singkat dan katanya cuma sekali. Jadi terlalu rugi rasanya kalau dihabiskan dengan hal-hal yang menjadikan aku benci dengan hidup. Segala yang dikerjakan dengan setengah hati tidak sepatutnya diperjuangkan lagi. Maka kalau memang hidup dianalogikan sebagai sebuah perjuangan, perjuangkanlah dengan sepenuh hati (walaupun menurutku hidup ini nggak melulu soal perjuangan). Untuk bisa mencapai tahap itu, artinya aku harus bisa berdamai dengan diri sendiri dahulu yang adalah susah. Dan dengan kemampuan itu, peran apapun yang aku mainkan di dunia akan bisa aku hayati sehingga pada akhirnya menjadi sesuatu yang berarti. Jadi… kalau memang hidup ini punya arti, semoga itu adalah titik temu antara menjadi diri sendiri dan kesempatan untuk bisa terus berbagi. Begitulah kiranya yang aku pahami.
Rara Rastri,
4 September 2020