Memaknai Arti Kata Sumeleh

doc: rarasansekerta

-

Setiap kali aku berkunjung ke suatu tempat, tak jarang pikiranku membawaku pada sebuah diskusi yang sama. Bagaimana jika suatu saat aku memutuskan untuk menikah, apakah aku sudah benar-benar siap? Is he the one? apa ilmu ku sudah cukup? Apa kami akan mampu menghadapi masalah-masalah yang tentu telah menanti di depan?. Sayangnya untuk ada pada titik itu aku tidak tahu pasti berapa lama waktu yang perlu ditempuh. Sepertinya bukan dalam waktu dekat, entahlah. Lha wong saat ini saja aku masih belum khatam menata hidupku. Belajar jadi manusia yang stabil, serta mampu menjadi manusia yang bijak... semoga. Memasuki babak baru setelah lulus kuliah membuatku menyadari banyak hal, salah satunya adalah apa yang dalam bahasa Jawa disebut sumeleh. Kalau dipahami lebih dalam, sikap sumeleh berjalan linear dengan filosofi stoikisme, sebuah aliran pemikiran yang muncul pada masa Yunani dan Romawi Kuno. Stoikisme sejatinya mengajarkan kita untuk berusaha tetap tenang dalam berbagai macam kondisi. Caranya melalui penguasaan diri. Sepertinya omonganku terlalu muluk-muluk, tapi percayalah itu yang memang ingin aku sampaikan.  Mengutip penjelasan Marissa Anita dalam Greatmind berjudul On Marissa's Mind: Stoikisme, Filosofi Anti Cemas - Bagian 1, ia mencoba membuka penjelasan dengan kata-kata dari teolog berikut ini: 

"Berikan saya ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah, keberanian untuk mengubah apa yang bisa saya ubah, dan kebijaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya" - Reinhold Niebuhr. 

Aku suka kata-kata tersebut, damai. Pertemuanku dengan diri sendiri dan kesadaran bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan adalah titik dari kelelahan yang tak berujung. Ternyata hidup itu memang menyenangkan, tapi juga melelahkan. Semakin dewasa, secara autopilot kita jadi bisa membedakan dan memilah, mana yang bikin lelah tapi akan berdampak positif bagi hidup kita, dan mana hal yang bikin lelah namun sebetulnya bisa kita tinggalkan saja. Yang aku tau, hidup itu sama dengan kita mengumpulkan pengalaman. Tempaan akan selalu ada dan nggak menutup kemungkinan di depan bakal ada hal yang jauh lebih melelahkan lagi. Aku jadi berfikir, di fase ini aja perlu banyak banget negosiasi sama diri sendiri. Kalau kita nyerah sama tempaan yang ada, berarti kita kalah sama situasi, kita pun juga kalah sama ego. Padahal tempaan itulah yang membuat kita semakin kuat seiring berjalannya waktu. Untuk dapat berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, sikap sumeleh sangat membantuku untuk tetap waras. 


Rara Rastri
Semarang, 21 ‎Juli ‎2021

0 comments